التجريد والمشاكلة والمزاوجة
المشْرِيْف :
حسن الأكتا فيرا
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang
jernih kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, makalah ini dapat hadir dihadapan pembaca.
Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya yang penuh kesetiaan
telah mengobarkan syi’ar Islam yang manfaatnya masih terasa hingga saat ini.
Makalah yang berada dihadapan pembaca ini
membahas tentang “AL-IDMAAJU WA
AL-MADZHAB AL-KALIMI WA HUSNUN AT-TA’LIILI”. Untuk memenuhi mata kuliah
BALAGHAH III.
Apabila bila nantinya disana-sini akan didapati beberapa
cacat, kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini, kami selaku penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan segala
bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa penulis sampaikan
beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Paling terakhir, hanya kepada Allah penulis
panjatkan rasa syukur dan hanya kepada-Nya pula urusan penulis kembalikan.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi
keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk kepentingan Agama,
Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi kami berharap supaya
makalah ini dapat bermanpaat bagi pembacanya dan amal ibadah bagi
penulisnya.Amin…..Ya Rabbal ‘Alamiin.
اَلْاِدْمَاجُ وَالْمَذْهب
الْكَلَامِي وَ حُسْنُ التَّعْلِيْلِ
AL-IDMAAJU
WA AL-MADZHAB AL-KALIMI WA HUSNUN AT-TA’LIILI
A.
Al-Idmaaj
(اَلْاِدْمَاجُ )
وَهُوَ أَنْ يُضَمّنَ
كَلاَمٌ سُيِّقَ لِمَعَنَى ، مَعْنًى آخَرَ لَمْ مُصَرَّحٍ بِهِ
Idmaaj
adalah suatu kalimat yang disusun untuk suatu makna mengandung makna lain yang
tidak dijelaskan
Contohnya
seperti perkataan penyair Al-Mutanabbi:
اُقَلِّبُ
فيهِ اجْفَانى كَأَنّىْ اَعُدُبِها
عَلَى الدهْر الذُّنُوبًا
“Aku
membolak-balikkan kelopak mataku,
Dimalam
hari seakan-akan aku sendiri
Menghitung-hitung
dengannya,
Dosa-dosa
sepanjang masa.”
Penyair
menyusun kalimatnya pada asalnya untuk menjelaskan panjang malam, tetapi ia memasukkan
pengaduan mengenai yang terjadi disepanjang masa dalam menyipati panjang malam
tersebut.
B.
Madzhab
Al-Kalami
هو أن
يُوْرِدَ الْمُتَكَلِّمُ عَلَي صِحَّةِ دَعْوَاهُ حُجَّةً قَاطِعَةٌ مَسَلَّمَةٌ
عِنْدَ المُخَاطِبِ بِأَن تَكُونَ الْمُقَدَّ مَاتُ بَعْدَ تَسلِيمِهَا
مُسْتَلْزِمَةً لِلْمَطلُوبِ
Madzhab Kalami adalah seorang pembicara memberikan argumentasi yang
pasti, yang diterima oleh mukhaththab untuk menyatakan kebenaran dakwaannya,
dengan pendahuluan-pendahuluan setelah diterima dapat menetapkan makna yang
diterapkan.
Contoh:
1. ( لَوْ
كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا )
Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah
rusak binasa.
(Q.S. Al-Anbiya’ : 22)
2. (
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ
Hai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah... (Q.S.
Al-Hajj : 5)
3. ( وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ
أَهْوَنُ عَلَيْهِ )
Dan
Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan
(menghidupkan) nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah
bagi-Nya. (Ar-Ruum: 27)
Maksud
ayat terkhir ini bahwa segala hal yang mudah bagi Allah maka hal tersebut
termasuk hal yang mungkin, jadi menghidupkan kembali adalah termasuk hal yang mungkin.
C.
Husnun At-Ta’lil (حُسْنُ التَّعْلِيلِ )
Pengertian Husn al-Ta’lil dalam Bahasa Arab Husn At-Ta’lil terdiri dari dua
kata, yaitu kata husn dan ta’lil. Secara leksikal, husn artinya ’bagus’,
sedangkan ta’lil artinya ’alasan’. [1]
Sedangkan secara terminologis, husn ta’lil menurut para ulama balaghah
adalah:
حُسْنُ التَّعْلِيلِ أَنْ يُنْكِرَ الْأَدِ يْبُ صَرَاحَةً
أَوْ ضِمْنًا عِلَّةَ شَيْءِ الْمَعْرُوفَةَ , وَيَأْ تِيْ بِعِلَّةٍ أَدَ بِيَّةٍ
طَرِيفَةٍ تُنَاسِبُ الْغَرْضَ الَّذِي يُرْمَى إِلَيه
“Husnut Ta’liil adalah, seorang
pujangga mengingkari secara terus terang atau secara rahasia (tersembunyi)
terhadap alasan sesuatu hal yang diketahui, dan ia mengemukakan alasan yang
bernilai sastra, yang pilihan,yang sesuai pada tujuan yang disengaja.”
Maksudnya adalah, seorang penyair
atau pengarang cerita prosa mendakwakan suatu alasan yang tidak hakiki suatu
sifat diamana alasan itu sesuai dengannya melalui tinjauan yang halus yang
meliputi kehalusan pemikiran.
Seperti pernyataan Al-Mu’arri dalam
ucapan duka cita:
وَمَا
كُلْفَةُ الْبَدْرِ الْمُنِيرِ قَدِيمَةٌ * وَلَكِنَّهَا فِي وَجْهِهِ أَثِرُ
اللُّطْمِ
“Bintik-bintik hitam pada bulan purnama yang
bercahaya itu bukan ada sejak dulu.
Akan tetapi,
pada muka bulan itu ada bekas tamparannya.”
Dalam syi’ir
di atas penyair ingin mengungkapkan kesedihan yang diderita oleh seseorang yang
ditinggal oleh orang yang dicintainya. Karena sangat sedihnya ia memukul-mukul
wajahnya sehingga tampak bekas tamparan tersebut pada wajahnya.
Pada syi’ir
di atas penyair tidak menjelaskan alasan tersebut dengan sebenarnya, akan
tetapi dia memalingkan kepada noda hitam yang ada pada bulan. Ia mendakwakan
bahwa kekeruhan atau kotoran hitam yang ada pada bulan purnama bukanlah tumbuh
dari sebab alami, tetapi terjadi karena bekas tamparan sendiri karena berpisah
dengan orang yang ditangisi.
Contoh lain:
أَمَّا
ذُكَاءٌ فَلَمْ تَصْفَرَّ إِذْجَنَحَتْ * إِلَّا لِفٍرْقَةِ ذَاكَ الْمَنْظَرِ
الْحَسَنِ
“Adapun matahari yang bercahaya,
tidaklah menguning ketika akan
tenggelam.
Kecuali karena akan berpisah,
dengan orang yang dipandang baik.”
Dalam contoh
di atas penyair bertujuan menyatakan bahwa matahari tidak menguning dan
terbenam karena sebab-sebab yang telah dikenal, tetapi matahari itu menguning
karena khawatir berpisah dengan wajah orang yang disanjung.
Penyair lain berkata tentang berkurangnya hujan di
Mesir:
ما قصر الغيث
عن مصر وتر بتها * طبعا ولكن تعداكم من الخجل
“Hujan tidak berkurang di Mesir dan sekitarnya karena faktor alam,
tetapi hujan
itu turun karena banyak menanggung malu.”
Dalam contoh
di atas penyair mengingkari bahwa penyebab berkuarngnya hujan di Mesir itu
adalah faktor alam. Sehubungan dengan keingkarannya itu ia menyodorkan alasan
lain, yaitu bahwa hujan itu malu turun di bumi yang dipenuhi oleh keutamaan dan
kemurahan orang yang dipuji karena merasa tidak mampu bersaing dengan kemurahan
dan pemberiannya.
Dalam ‘illat
atau alasan haruslah berupa dakwaan, kemudian sifat hendaknya lebih umum
dari kenyataan bahwa sifat itu talah tetap, kemudian dikemukakan alasannya.
Atau sifat yang tidak tetap kemudian dikehendaki untuk ditetapkan.
Yang pertama adakalanya berupa:
a.
Sifat yang tetap yang tidak jelas ‘illat atau alasannya,
seperti ucapan penyair:
بَينَ
السيُوف وَعينيها مُشَارَكَةٌ مِنْ
اجْلَها قِيلَ للْاجْفَانِ اَجْفَانُ
“Antara beberapa pedang
dan kedua matanya,
Terdapat persejutuan,
Oleh karena itu dikatakan,
Kelopak mata mempunyai kelopakmata.”
لَمْ يَحك
نَائِلَكَ السَّحَابُ وَاِنَّما حَمَّتْ
بِهِ فَصَبِيْبُهَا الرُّحَضَاءُ
“Mendung itu tidaklah mampu,
Menyerupai pemberianmu,
Ia hanya demam panas,
Jadi air yang
dicurahkannya adalah keringatnya.”
Juga seperti ucapan penyair:
زَعَمَ
الْبنفسجُ أنَّهُ كَعِذَارِهِ حُسنًا
فَسَلُّوْا مِنْ قَفَاهُ لِسَانَهُ
Bunga karang
mendakwakan
dirinya seperti rambut
keningnya,
Tentang indahnya, lalu mereka
Mencabut lidah dari tengkuknya.”
Keluarnya
daun bunga karang ke arah belakang adalah tidak ada alasannya. Tetapi penyair
menunjukkan bahwa alasannya ialah mengada-ada terhadap orang yang mencintai.
b. Sifat yang tetap yang
jelas illat-nya selain yang disebutkan, seperti ucapan Al-Mutanabbi:
مَا بِهِ قَتْلُ اَعَادِيْهِ
وَلٰكِنْ يَتَّقِيْ اِخلَافَ مَا تَرْجُو
الذِّئَابُ
Dan tidak membunuh musuh-musuhnya,
Akan tetapi dia itu,
Hanyalah
menjaga-jaga diri,
Dari
keingkaran harapan serigala.”
Membunuh para lawan, adalah kebiasaan para raja,
dimana mereka itu bertujuan agar selamat dari gangguan dan bahaya dari para
lawannya.
Akan tetapi Al-Mutanabbi membuat sebab yang aneh untuk
hal tersebut. Ia menghayalkan bahwasanya yang membangkitkan sang raja untuk
membunuh para musuhnya adalah karena kemasyhuran dan dikenalnya sehingga
dikalangan binatang yang tidak bisa berkata tentang kedermawaannya dan
kesenangannya memperkenankan orang yang meminta kebaikan. Oleh karena itu ia
menyerang mereka. Sebab ia mengerti bahwa kalau ia pergi untuk berperang, maka
serigala-serigala tentu mengharapkan agar ia luas rezekinya dan mendapatkan
daging-daging musuhnya yang terbunuh, sedangkan sang raja tidak akan merugikan
permintaannya.
Kemudian ‘illat yang kedua ialah
berupa sifat yang tidak tetap. ‘Illat ini adakalanya:
a. Hal yang mungkin,
seperti ucapan Muslim bin Walid:
يَاوَشِيًا حَسُدَتْ فينا اِسَاءَتُهُ نجَّى حِذَارَكَ اِنْسَانِى مِنَ الْفَرَقِ
“Wahai orang yang
menghasut
Yang kejahatannya baik
menurut kita.
Kewaspadaanmu menyelamatkan
Pada mataku dari air mata.”
Menganggap baik pada kejahatan orang yang menghasut
adalah mungkin. Tetapi karena manusia sama berbeda pendapat didalamnya, maka
penyair mengiringinya dengan menyebutkan sebab-sebabnya, yaitu bahwa
kewaspadaannya terhadap penghasut bisa mencegahnya dari menangis. Jadi matanya
tercegah oleh cucuran air mata.
b. Hal yang tidak
mungkin, seperti ucapan Al-Khatib Al-Qiswaini:
لَوْ لَمْ تَكُنْ نِيَّتةُ الْجَوْزَءِ
خِدْمَتَهُ لَمَّا رَاَيْتَ عَلَيْهَا
عِقْدَ مُنْتَطِقِ
“Seandainya
niat bintang Jauza’ itu,
Bukan khidmat pada yang disanjung
Maka
Anda takmelihat padanya
Simpul
orang yang mengikat pinggang
Jadi, Sebagai kesimpulan, penulis dapat menyimpulkan bahwa kaidah husn
ta’lil adalah sebuah kaidah tentang bagaimana cara menyampaiakn alasan yang
baik, dimana dengan alasan ini seorang penyair atau sastrawan bisa memberikan
suatu ungkapan dengan makna yang sangat indah, walaupun sebenarnya maksud
sebenarnya dari ungkapan itu telah tertuang dalam ungkapan yang ia utarakan.
وَاللهُ اَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar